Sabtu, Oktober 22, 2016

Essai Parlemen Remaja 2016

MEJA MAKAN TOLOK UKUR KETAHANAN PANGAN NASIONAL
(Denius)
SMAN Unggul Subulussalam

Didalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang sebagai anggota warga negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan serta penghidupan yang layak baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi, penghidupan yang layak yang dimaksud ialah mendapat pemenuhan kebutuhan dasar, seperti : pangan, sandang dan papan. Pemenuhan kebutuhan tersebut menjadi hal utama yang harus diberikan oleh pemerintah sebagai jalan untuk mensejahterakan masyarakat akan kebutuhannya. Tapi, apakah pasal 27 ayat 2 UUD 1945 di atas sudah terlaksana ? Untuk jawabannya kita sudah tahu sendiri melalui APA YANG TERHIDANG DI MEJA MAKAN SETIAP HARI. Lalu, kenapa kalimat tersebut menjadi tolok ukur kesejahteraan masyakat Indonesia ? Untuk lebih jelasnya kita akan membahas serba-serbi tentang pangan di Indonesia.
            Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, disebutkan bahwa penyelenggaraan pangan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneraka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi komsumsi masyarakat, mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu juga untuk mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat. Tujuan penting lainnya ialah meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, dan pelaku usaha pangan serta melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber pangan nasional.
Pangan merupakan kebutuhan dasar/primer yang menjadi hak asasi setiap warga negara yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh pemerintah dengan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut kita harus meningkatkan ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan para ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok yaitu “ketersediaan pangan” dan “aksesibilitas masyarakat” terhadap bahan pangan tersebut. Salah satu dari unsur di atas tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup ditingkat nasional dan regional tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh (Arifin,2004:31).
Salah satu ketahanan pangan nasional yang menjadi kebutuhan dasar ialah kebutuhan akan beras. Beras yang menjadi makanan pokok kita sehari-hari ini menjadi hal utama penentu bahwa suatu negara kuat akan ketahanan pangannya. Mendengar kata-kata beras itu sih sudah biasa, atau lebih akrapnya kita lebih mengenalnya dengan sebutan nasi yang sering kita lihat terhidang diatas meja yang menjadi raja dari akan segala kebutuhan dasar dan memiliki teman seperjuangan yaitu lauk-pauk. Semua kalangan dapat mengonsumsi kebutuhan dasar tersebut, tak terkecuali. Opss... tapi, tunggu dulu ! Kata dari “semua kalangan” itu sepertinya sedikit ganjal ya, karena hanya keluar dari manis bibir aja, jika di telaah lebih dalam lagi, rasanya sangat pahit sekali. Ternyata beras yang menjadi nasi ini, belum tentu bisa berjumpa dengan teman seperjuangannya yaitu lauk-pauk. Artinya begini “dimana ada nasi disitu ada lauk-pauk” tapi lebih tepatnya sih begini “dimana ada lauk-pauk belum tentu ada nasi, atau sebaliknya”. Kenapa kalimat tersebut keluar dari pemikiran saya ? Tapi mungkin pemikiran saya ini salah karena tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Karena menurut data dari Badan Pusat Statistik : kita telah mengimpor beras sebanyak 1.8 juta ton pada tahun 1995; 2.1 juta ton pada tahun 1996; 0.3 juta ton pada tahun 1997; 2.8 juta ton pada tahun 1998; 4.7 juta ton pada tahun 1999. Di awal tahun 2000 kita bahkan dibanjiri dengan beras impor yang diberitakan ilegal, sedangkan di awal tahun 2006 kita diramaikan dengan keputusan pemerintah untuk mengimpor beras, yang dianggap tidak berpihak kepada petani.

Dalam laporan dari bertajuk Rice Market Outlook yang dipublikasikan US Department of Agriculture pada akhir pekan lalu, diungkapkan bahwa Indonesia diprediksi masih akan mengimpor beras hingga total 2 juta ton selama 2016. Laporan tersebut mengungkapkan Indonesia dan Filipina merupakan dua negara di Asia Tenggara yang realisasi impor berasnya akan meningkat tahun ini. Adapun, total impor beras tersebut juga termasuk besar industri yang rata-rata di impor Indonesia sekitar 50.000-100.000 ton/tahun. Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti mengatakan lembaga tersebut telah merealisasikan impor beras sebanyak 800.000 ton. Beras impor sudah masuk total 800.000 ton. Sisanya akan dimasukkan secara bertahap.
Pernyataan data diatas sepertinya secara logika tidak masuk akal, saya hampir tidak sempat pikir karena Indonesia yang mendapat julukan negara agraris yaitu negara yang sebagian besar masyarakat bermata pencaharian petani dan Indonesia sebagai produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Dengan kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5% atau 51 juta ton. Indonesia masih saja mengimpor beras dengan jumlah yang banyak. Apa kata dunia ? Nasi sudah menjadi bubur. Meskipun banyak kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengubah kata impor menjadi ekspor tapi nyatanya tidak sesuai dengan harapan. Julukan tetaplah julukan, tapi alangkah baiknya jika kita melihat julukan agraris tersebut dari balik layar. Jadi, kalau Indonesia mengimpor beras untuk kebutuhan dasar masyarakat, kenapa angka kemiskinan dan gizi buruk di Indonesia masih saja tinggi. Apakah beras yang di impor masih kurang banyak ? Mungkin kenyataan bisa begitu.
            Menurut data Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin dengan pendapatan perkapita dibawah garis kemiskinan pada maret 2016 di Indonesia mencapai 28,01 juta jiwa atau sebesar 10,86% dari total jumlah penduduk Indonesia. Sungguh angka kemiskinan yang sangat memprihatinkan, padahal banyak sumber daya alam di Indonesia ini, tapi kenapa masih saja masyarakat belum sejahtera. Kemiskinan berarti kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama kebutuhan primernya. Kalau sudah miskin jadi bagaimana cara memenuhi kebutuhan primer mereka, sepertinya hanya bisa telan ludah saja.
 Setiap keluarga di Indonesia ternyata belum mendapat bahan pangan yang sempurna dan merata. Ini dibuktikan bahwa kita dapat melihat hidangan yang tersedia di meja makan setiap hari. Untuk keluarga yang berdasi sudah pasti meja makan akan terhiasi dengan berbagai bahan pangan dan lauk-pauk yang katanya “4 sehat 5 sempurna” dan porsinya juga sempurna, itu sih katanya. Berbeda dengan keluarga yang hanya berbaju kain perca atau seadanya, di atas meja mereka hanya tersedia beberapa bahan pangan dan lauk-pauk yang hanya dapat mengganjal perut yang kosong saja. Terkadang diatas meja mereka pun tidak terhidang apa-apa hanya ludah yang tertelan saat membuka tudung saji dibuka di atas meja makan. Meja makan menjadi penentu bahwa suatu keluarga sejahtera akan ketahanan pangannya. Suatu negara dikatakan ketahanan pangan baik bila masyarakatnya dapat merasakan porsi yang cukup 3 kali/hari yang terhidang di atas meja makan. Tapi tunggu dulu, bila ditingkat nasional dan regional bahan pangan sudah cukup, itu belum bisa dikatakan ketahanan pangan yang baik juga. Dikatakan ketahanan pangan yang baik jika akses setiap orang/individu dapat memenuhi kebutuhan pangannya tersendiri atau dikatakan kebutuhan pangan yang merata untuk setiap orang. Untuk lebih tepatnya setiap orang/individu memperoleh bahan pangan dengan lauk-pauk yang terhidang di atas meja makan setiap 3 kali/hari.
            Ketahanan pangan yang baik dapat dilakukan dengan mencari cara jalan alternatif yang sudah tersedia dan mudah didapatkan yaitu pengganti makanan pokok (beras). Di Indonesia makanan pokok yang tersedia tidak hanya beras saja melainkan ada bahan pangan lainnya yaitu jagung dan kedelai yang memiliki jumlah produksi yang cukup banyak. Ada juga sagu yang menjadi makanan utama masyarakat Kalimantan, singkong untuk masyarakat Sumatera dan bahan pangan lainnya. Makanan pokok tersebut dapat kita gunakan sebagai kebutuhan dasar untuk sehari-hari untuk seluruh masyarakat Indonesia. Kandungan gizi yang terkandung sudah cukup banyak dan bisa dikatakan kategori sehat dan sempurna. Oleh sebab itu, untuk apa kita susah-susah mengeluarkan uang negara mengimpor beras dari luar negeri sedangkan didalam negeri saja masih banyak makanan pokok yang lebih unggul dan sehat dibanding makanan pokok impor. Belum tentu juga yang diimpor tersebut sudah memenuhi standar pangan yang baik untuk dikonsumsi.
Kalau pemerintah masih terus mengimpor beras jadi kapan kita akan mengekspor beras, tanah yang subur ini mau diapakan kalau tidak ditanami dengan bibit-bibit pangan. Memang sebagian besar masyarakat masih berpatokan kepada beras sebagai makanan pokok mereka. Tapi apakah kita akan terus bertahan dan memperjuangkan nasib impor beras kita. Alangkah baiknya jika pemerintah terus berupaya maksimal untuk melakukan penyuluhan ke berbagai daerah-daerah diindonesia tentang akan pentingnya mewujudkan jalan alternatif pengganti makanan pokok (beras) menjadi bahan pangan lainnya seperti sagu, singkong, jagung, kedelai dan lainnya agar negara tidak memerlukan impor beras lagi. Produksi bahan pengganti makanan pokok tersebut juga memiliki lahan dan produktivitas yang tinggi serta kelangsungan hidupnya juga bisa dijamin akan berhasil karena tidak terlalu berpengaruh dengan masalah El-nino (musim kekeringan yang berkepanjangan), sehingga memungkinkan kebutuhan dasar masyarakat akan terpenuhi. Selain melakukan penyuluhan, pemerintah juga harus turun tangan dalam membantu masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan yang baik, dengan memberikan fasilitas/material yang mendukung, bibit-bibit yang unggul, lahan pertanian yang luas serta modal akan pembekalan ilmu pengetahuan tentang cara meningkatkan hasil pertanian yang baik dan benar.
            Perubahan makanan pokok dari beras ke sagu, singkong, jagung dan lainnya akan memudahkan para petani karena tidak lagi bergantung kepada el-nino. Begitu pula dengan masyarakat, harga pengganti makanan pokok tersebut sangat murah dan terjangkau serta mudah diproduksi oleh setiap masyarakat Indonesia tanpa biaya mahal dan waktu yang lama, salah satunya ialah pangan singkong. Bila petani mudah memproduksi makanan pokok maka masyarakat juga akan mudah mengakses kebutuhan dasarnya baik ditingkat nasional, regional atau pun individu. Sehingga siapapun mereka akan mudah memenuhi kebutuhan dasarnya untuk sehari-hari. Setiap hari meja makan akan terhidang dengan makanan pokok yang sehat dan sempurna karena sudah mudah untuk mengakses makanan pokok. Meja makan pun akan terhidang dengan pangan yang cukup untuk 3 kali/hari. Jadi, melalui gagasan pemikiran yang sudah dijelaskan kita dapat menjadikan meja makan sebagai tolok ukur ketahanan pangan nasional. Jika setiap hari terhidang pangan 3 kali/hari di atas meja makan maka ketahanan pangan nasional dikatakan baik dan begitu pula sebaliknya. Kesimpulannya ialah apa yang tersedia di atas meja makan adalah tolok ukur ketahanan pangan nasional kita. Jadi,  apakah meja makan setiap orang di Indonesia sudah terhidang bahan pangan 3 kali/hari ? Jawabannya ada di atas meja makan.



Tidak ada komentar: