MEJA MAKAN TOLOK UKUR KETAHANAN PANGAN NASIONAL
(Denius)
SMAN Unggul Subulussalam
Didalam
pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa setiap orang sebagai anggota warga negara berhak untuk
mendapatkan pekerjaan serta penghidupan yang layak baik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi, penghidupan yang layak yang
dimaksud ialah mendapat pemenuhan kebutuhan dasar, seperti : pangan, sandang
dan papan. Pemenuhan kebutuhan tersebut menjadi hal utama yang harus diberikan
oleh pemerintah sebagai jalan untuk mensejahterakan masyarakat akan
kebutuhannya. Tapi, apakah pasal 27 ayat 2 UUD 1945 di atas sudah terlaksana ?
Untuk jawabannya kita sudah tahu sendiri melalui APA YANG TERHIDANG DI MEJA
MAKAN SETIAP HARI. Lalu, kenapa
kalimat tersebut menjadi tolok ukur kesejahteraan masyakat Indonesia ? Untuk
lebih jelasnya kita akan membahas serba-serbi tentang pangan di Indonesia.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang
pangan, disebutkan bahwa penyelenggaraan pangan bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan memproduksi pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneraka
ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi komsumsi masyarakat,
mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang
wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu juga untuk
mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat. Tujuan penting
lainnya ialah meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, dan pelaku usaha
pangan serta melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber pangan nasional.
Pangan
merupakan kebutuhan dasar/primer yang menjadi hak asasi setiap warga negara
yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh pemerintah dengan masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut kita harus meningkatkan ketahanan pangan
nasional. Ketahanan pangan para ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung
dua unsur pokok yaitu “ketersediaan pangan” dan “aksesibilitas masyarakat” terhadap
bahan pangan tersebut. Salah satu dari unsur di atas tidak terpenuhi, maka
suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik.
Walaupun pangan tersedia cukup ditingkat nasional dan regional tetapi jika
akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan
pangan masih dikatakan rapuh (Arifin,2004:31).
Salah
satu ketahanan pangan nasional yang menjadi kebutuhan dasar ialah kebutuhan
akan beras. Beras yang menjadi makanan pokok kita sehari-hari ini menjadi hal
utama penentu bahwa suatu negara kuat akan ketahanan pangannya. Mendengar
kata-kata beras itu sih sudah biasa, atau lebih akrapnya kita lebih mengenalnya
dengan sebutan nasi yang sering kita lihat terhidang diatas meja yang menjadi
raja dari akan segala kebutuhan dasar dan memiliki teman seperjuangan yaitu
lauk-pauk. Semua kalangan dapat mengonsumsi kebutuhan dasar tersebut, tak
terkecuali. Opss... tapi, tunggu dulu ! Kata dari “semua kalangan” itu
sepertinya sedikit ganjal ya, karena hanya keluar dari manis bibir aja, jika di
telaah lebih dalam lagi, rasanya sangat pahit sekali. Ternyata beras yang
menjadi nasi ini, belum tentu bisa berjumpa dengan teman seperjuangannya yaitu
lauk-pauk. Artinya begini “dimana ada nasi disitu ada lauk-pauk” tapi lebih
tepatnya sih begini “dimana ada lauk-pauk belum tentu ada nasi, atau
sebaliknya”. Kenapa kalimat tersebut keluar dari pemikiran saya ? Tapi mungkin
pemikiran saya ini salah karena tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Karena menurut data dari Badan Pusat Statistik : kita telah mengimpor beras
sebanyak 1.8 juta ton pada tahun 1995; 2.1 juta ton pada tahun
1996; 0.3 juta ton pada tahun 1997; 2.8 juta ton pada tahun 1998; 4.7 juta ton
pada tahun 1999. Di awal tahun 2000 kita bahkan dibanjiri dengan beras impor
yang diberitakan ilegal, sedangkan di awal tahun 2006 kita diramaikan dengan
keputusan pemerintah untuk mengimpor beras, yang dianggap tidak berpihak kepada
petani.