Pak, kalau aku sudah besar boleh ya Pak aku nyinden, kayak mbak yang itu.
Aku suka Pak. Kepingin ditengok orang ramai di beri tepukan tangan. Boleh ya Pak!”
“Boleh-boleh saja. Asalkan
rajin-rajin latihan biar suaramu lebih bagus, merdu, betulkan Ndung?”
* *
*
Malam bertabur bintang, dibaluri
sinar purnama. Indah benar, sama ketika aku diajak bapak nonton wayang orang di
balai desa. Waktu itu terang bulan. Sepulangnya, aku digendong bapak, diangkat
didudukkan di bahunya sambil menengok langit malam. Usiaku enam tahun waktu
itu.
“Wah, Pak! Kenapa kita diikuti terus
sama bintang-bintang.”
“Ya biar saja bintangnya ngikuti Ndung.
Jadinya kan
terang.”
“Iya ya, Pak.” Aku menghitung
bintang-bintang, sayup-sayup kudengar bapak nembang beberapa syair lagu jawa.
Aku jadi senang. Pelan-pelan kuikuti bapak nembang. Lagi enak-enaknya nembang
mulutku menganga lebar, hidungku mengembang.
“Wah, sudah ngantuk ya Ndung?” Aku
mengangguk. Lantas bapak memindahkan aku dari bahunya, kini aku berada tepat di
dadanya. Bapak begitu gagah dengan kumis dan rambut panjang yang disisir rapi
ke arah belakang dengan hiasan ikat rambut. Perlahan mataku terpejam, bapak
masih asyik nembang. Aku semakin pulas dalam dekapannya.
* *
*
Namaku Senandung, entah dari mana
asalnya aku diberi nama seperti itu. Pa`de Sulam dan Bu`de Sulasmi yang
mengurusku sejak usia tujuh tahun, mereka menyekolahkanku hingga selesai sampai
SMA. Menurut cerita orang-orang yang tinggal satu paguyuban dulu aku dititipkan
untuk belajar nyinden sekalian. Kalau sudah mahir di berbagai tempat dari desa
ke desa, tapi setelah dititipkan aku tidak pernah dijenguk siapapun bahkan oleh
orang yang menitipkanku. Tapi bukan aku saja yang bernasib seperti itu, banyak
gadis-gadis yang tinggal di sini bernasib sama. Larasati juga seperti aku.
Tampat kami bercerita, mengadu, bercanda biasanya sama Mbok Yem, ia
sudah berpuluh tahun bekerja dengan Pa`de dan Bu`de. Mbok Yem suka ngemong,
sering mengelus kepalaku kalau aku sedang sedih.
Aku masih ingat sekali perlakuan Pa`de
dan Bu`de waktu pertama kali aku datang, mereka baik. Aku diajarkan bagaimana
menjadi sinden yang mempunyai suara nyaring, bukan itu saja aku juga diajarkan
tari-tarian bahkan terkadang aku ikut ambil peran dalam sebuah pertunjukan
wayang. Itu saat aku berusia sepuluh tahun. Semakin hari gerakan dan suaraku
semakin bagus banyak penonton yang terkagum-kagum. Tapi lama kelamaan saat
usiaku beranjak dewasa Pa`de dan Bu`de tidak seperti dulu lagi. Mereka sangat
berbeda sekarang. Baik dan ada yang terselubung di balik itu semua.
Ya… usiaku sekarang menginjak dua
puluh satu tahun, dan Bu`de terlau banyak menuntut.
“Ndung, cepat sedikit dandannya!
Sepuluh menit lagi kita berangkat, jangan sampai terlambat. Inget ya… ini
hajatan besar. Kamu tahu toh? Malem ini kita beri pertunjukan dan suguhan yang paling mantap ini kan acara pesta anaknya
lurah desa seberang. Ndung cepet yang laen pada nuggu!!” Bu`de mulai rewel.
“Iya Bu`de. Sebentar lagi siap.”
Jawabku singkat
“Ati-ati ya Ndok.” Mbok Yem mengelus
kepalaku dan aku mengangguk.
Semalem suntuk panggung menyajikan
pertunjukan wayang, tari-tarian sampai tembang-tembang apik. Tapi percuma saja.
Ya… meskipun ini pesta perkawinan anak lurah tetap saja yang menonton aki-aki
bangkotan. Kemana semua pemuda di kampung ini? Apa sudah tidak doyan? Tapi
kenapa tuan rumah menyuguhkan yang demikian ini? Ah! Sudahlah yang pentingkan
dibayar. Semua pertunjukan telah selesai disajikan. Semua teman-teman istirahat
termasuk aku. Tiba-tiba Bu`de menghampiri.
“Lho…lho… apa ini, kok malah
enak-enakan. Hayo… naek lagi Ndung. Pak lurah kepengen denger satu tembang
lagi. Hayo… yang maen musik mana? Wes cepet!” Kami semua menghela nafas. Ya
mulai lagi nyindennya. Kuperhatikan raut Pa`de dan Bu`de begitu sumringah,
tertawa terbahak-bahak bersama pak lurah. Bu`de mengacungkan jempolnya sambil
tertawa genit.
Ya… akhirnya semua selesai tamu-tamu
pulang, pengantin masuk kamar. Teman-teman sudah duduk di pick up bersiap
pulang. Tinggal aku yang belum naik, Bu`de memanggil.
“Ndung! Kenalin ini pak lurah yang
punya hajatan. Hayo dong Ndung, disapa, disalamin!” Aku hanya senyum lantas pak
lurah menarik tanganku.
“Ayo, sini-sini. Jangan malu-malu
cah manis. Ini sedikit untukmu.” Tangannya menyelipkan lembaran rupiah ke balik
bajuku tepat di dadaku. Aku mengelak. “E…. jangan malu-malu, hayo terima.” Ia
menarik tanganku meletakkan lembaran rupiah di telapak tanganku.
“Dasar orang tua edan.” Gerutuku
dalam hati.
“Lho, kok diem saja Ndung. Bilang terima
kasih sama pak lurah.” Bu`de memecah suasana. Aku hanya diam dan beranjak
pergi.
“E… lho-lho. Kok minggat.” Celetuk Pa`de.
“Maaf ya Pak. Barangkali Senandung kecapean.” Sambung Bu`de.
Aku duduk di sebelah Laras, “Diapain kamu Ndung?” Tanya Laras. Tapi tak
kujawab. Kami semua pun kembali ke paguyuban bersama.
Sampai di tempat, aku langsung masuk kamar. Berganti pakaian membersihkan
muka, lantas merebahkan seonggok tubuh lelah. Tanpa terasa berurai air mataku.
Teringat taburan bintang dan sinar purnama ketika bapak menggendongku.
“Pak, kapan kita nikmati malam berbintang dan baluran purnama sambil
nembang bersama?” Kuangkat tubuhku. Kubuka lebar jendela. Kupandangi langit.
“Pak aku menyesal.”
“Ndung, kenapa?” Laras mengejutkanku. “Eh… kenapa kamu Ndung. Ada apa, ha? Ayo sini
ceritakan padaku.” Laras mencoba menghibur tapi aku menggeleng. “Ya sudah kalau
ndak mau cerita. Ayo tidur. Kita kan
sudah terlalu lelah jadi mesti jaga kesehatan dengan tidur yang cukup.” Kututup
jendela. Kumatikan lampu kamar. Remang-remang cahaya masuk lewat sela-sela
jendela. Kucoba memejamkan mata tetapi selalu teringat wajah bapak. Tangan
kekar bapak masih terasa di tubuhku. Dulu ia sering menggendongku, bahkan
pernah memandikanku. Dan aku tak pernah mengenal siapa ibu. Bapak pun tidak
pernah bercerita tentang ibu. Uraian air mata semakin deras. Aku mulai
sesunggukan. Nasib apa yang kuterima ini.
“Pak, dimana sekarang. Kenapa tak
pernah melihatku?”
“Ndung… bangun!” Aku terperanjat,
terdengar gedoran dari arah pintu.
“Ya Bu`de.”
“Cepat mandi! Ndak perlu
beres-beres. Karena sebentar lagi ada tamu yang datang menemuimu.” Bu`de
langsung nyerocos.
“Siapa yang akan datang Bu`de?”
“Ah, tidak usah banyak tanya. Nanti
Bu`de jelaskan.” Jelasnya.
Aku langsung mandi. Kubasuh seluruh
tubuh. Aku jadi teringat lagi ketika masih kecil. Bapak memaksaku mandi padahal
aku malas. Bapak marah, diseretnya aku ke sumur diguyurnya tubuhku.
“Hu… adem pak.” Bapak tersenyum.
Terkadang aku kepingin keluar diam-diam agar aku bisa jalan-jalan sambil
memandang sekilas, siapa tahu ada sosok lelaki berkumis dan berambut panjang
diikat. Ya… bapak. Apa bapak masih seperti dulu. Gagah! Tapi aku tak pernah
berani untuk keluar. Pa`de selalu memantau gadis-gadisnya.
“Mana Senandung. Kenapa lama sekali
mandinya. Ini sudah datang tamu istimewa” dengan sigap Bu`de memanggilnya. Suara
Pakde begitu keras sepertinya sengaja agar aku mendengarnya.
“Ndung, cepetan. Sudah datang
tamunya. Sudah, jangan lama-lama dandannya.” Bu`de masuk ke kamar memanggil.
Lantas aku menuju ke ruang tamu. Aku masih bertanya-tanya siapa gerangan yang
datang. Apa mungkin bapak? Aku jadi sumringah. Tubuhku dingin, jantungku
berdebar tidak karu-karuan. Bapak, seperti apa wajahmu sekarang. Apa masih
berkumis atau rambutmu telah memutih.
“Sini-sini. Cepat duduk yang manis.
Sebentar lagi tamunya masuk. Beliau masih di luar dengan Pa`de.” Bu`de
membuyarkan lamunanku. Jantungku dag-dig-dug tidak mampu memandang ke depan.
“Ayo, silakan Pak. Nah, ini
Senandung sudah menunggu.” Pa`de mempersilakan tamu itu masuk dan duduk. Aku
belum berani melihatnya.
“Masih ingat sama saya Ndung?” Suara
itu seperti pernah kudengar, ya… suara itu. Kuperjelas dengan mengangkat
wajahku. Ternyata lurah yang punya hajatan kemaren. Ada apa ya? Apa mau mengadakan hajatan lagi?
“Ndung, masih ingat toh! Ini pak
lurah.” Bu`de mempertegas jawabanku. Kedatangan pak lurah ternyata mau melamarku.
Sialan. Sudah bau tanah masih kegatelan. Tapi kenapa Pa`de dan Bu`de tidak
menolak. Aku tidak diberi kesempatan ngomong. Tiba-tiba Pa`de
dan Bu`de meninggalkanku sendiri. “Ndung, kamu mau jadi istri saya?” Dia mulai
mendekat, memegangi tanganku.
“Tidak!” Kujawab ketus sambil
menarik tanganku.
“Kenapa? Daripada nyinden terus
sampai tua, paling-paling nantinya kamu juga kawin dengan laki-laki yang
seprofesi denganmu. Sama saya kamu bisa senang, dihormati.” Pak lurah semakin
menjadi-jadi. Mulai mengelus rambutku. Wajahnya dekat sekali dengan wajahku.
Aku beringsut dari duduk.
“Tidak, saya tidak mau.”
“Ya, sekarang kamu boleh mkir-mikir.
Saya tunggu jawabannya satu minggu lagi.” Pak lurah lantas pergi.
Besok paginya, Pa`de dan Bu`de
memanggilku. Mereka menekankan bahwa aku tidak boleh menolak. Sebab aku harus
membalas budi. Balas budi? Memang, tapi selama ini aku sudah membalas budi
mereka dengan nyinden di berbagai tempat dan setelah itu mereka tidak pernah
memberiku uang hasil nyindenku. Apa ini? Bahkan sekarang pun aku tidak bisa
menolak. Masa depanku mereka yang menentukan? Tidak!
“Maaf Pa`de,
Bu`de. Saya tidak mau! Saya rasa ini sudah jelas. Jadi tolong bilang sama pak
lurah, saya tidak mau.” Pa`de dan Bu`de marah, Bu`de menyatakan aku tak tahu
diuntung.
Apa ini? Tak tahu diuntung. Malam
tak bertabur bintang, sabit hanya remang meredup. Kucari-cari bintang itu di sela
awan malam. Bapak… aku mesti apa? Air mataku berurai.
“Ndok, yang sabar ya…” Mbok Yem
mengelus kepalaku.
“Kenapa jadi seperti ini Mbok?” aku
mencoba bertanya semoga si mbok mau bercerita. Ternyata Mbok Yem mau bercerita
dan ia pun ternyata mengerti dengan pertanyaanku. Mbok Yem mulai ceritnaya.
Kala itu masih pagi sekali mentari menyapa daun-daun, tetes embun mulai mengering.
Ada seorang
lelaki gagah, berkumis berambut panjang. Brojo namanya, dulu ia salah satu
pekerja disini sebagai pemain musik. Gadis-gadis disini memanggilnya Kang Mas.
Dulu ia punya kekasih Sundari namanya. Mereka hampir saja melangsungkan
pernikahan. Banyak juga yang iri pada mereka. Meerka begitu mesra seperti tidak
mau dipisah.
Di pagi lainnya, pintu paguyuban
terbuka lebar. Waktu itu Brojo akan membersihkan tanaman di depan. Ia mendengar
tangisan bayi yang begitu merintih, dicari-cari, di depan pintu, tidak ada. Di
semak-semak. Tidak ada. Ia kelilingi halaman itu. Semakin keras saja rintihan
itu. Ah! Ternyata di balik pohon jati. Diangkatnya bayi itu. Putih, ayu,
pipinya berlesung, dibawanya ke dalam. Warga paguyuban berkumpul mengerumuni Brojo.
Semua senang. Ya, yang tidak senang ya sepasang suami istri. Sulam dan Sulasmi.
Mereka menolak mengurus bayi itu. Repot katanya. Tapi Brojo tidak keberatan
untuk mengurus anak itu. Setiap malam terdengar tembang-tembang apik. Si bayi
nampak senang, bayi itu Senandung namanya.
Air mataku mengalir deras. Aku bukan
anak bapak?
“Mbok, Brojo nama bapakku. Bayi itu
aku kan
mbok?” Aku berurai air mata memperjelas cerita.
“Iya Ndok. Itu kamu. Brojo nama
bapakmu.” Si Mbok mengelus kepalaku, aku tidur dipangkuannya.
Mbok Yem mengatakan, bahwa bapak
sangat menyayangiku lebih dari apapun. Bahkan Sundari calon istrinya cemburu
karena merasa diacuhkan hingga akhirnya Sundari meninggalkan bapak tanpa alasan
yang jelas. Pernikahan kandas di tengah jalan. Bapak tidak pernah perduli gadis
yang dicintai meninggalkannya. Ia memilih mengurusku. Sampai pada akhirnya
bapak mulai tidak disenangi Pa`de dan Bu`de karena melalaikan pekerjaan di paguyuban
hingga ia harus dikeluarkan tidak boleh tinggal disini lagi. Bapak bingung
harus apa, bagimana nasibku kelak. Bapak memohon agar mereka mau mengurusku,
bapak bersimpuh di hadapan Pa`de dan Bu`de. Semula mereka tidak mau tapi karena
bapak bersimpuh, meratap akhirnya mereka mau dengan syarat tidak boleh
menemuiku dan harus pergi jauh dari sini. Ya. Bapak menitipkan nasibku pada Pa`de
dan Bu`de. Hinga aku harus menerima nasib dan membalas budi.
Setelah semua diceritakan, mau tidak
mau aku harus mau dinikahkan dengan lurah bangkotan itu. Lagi-lagi Mbok Yem
mengelus berusaha menenangkan. Air laut tidak mungkin kering, asinnya akan dirasa,
menikah? Harus aku terima.
Hari ini tepat seminggu. Lurah itu
datang lagi dan aku harus siap. Kulayani semua kemauannya. Ia juga berkata akan
membuat paguyuban ini lebih maju. Ya.. baguslah! Terakhir kali aku mengajukan
syarat, aku meminta dibuatkan pertunjukan yang hebat dan besar. Semua desa
harus dengar tentang pertunjukan ini, semua orang harus dengar, lihat tanpa
terkecuali Brojo, bapakku. Lurah itu menyanggupinya.
Tiba di hari yang sudah ditentukan,
orang-orang ramai menyesak di balai desa. Mulailah pertunjukan, di balik tirai
kuperhatiakn satu per satu orang-orang yang menonton menikmati pertunjukan.
Tapi tidak juga kulihat sosok Brojo, bapakku. Mana mungkin ia tidak tahu disini
ada pertunjukan besar, pertunukan suguhan dari tempat ia bekerja. Tempat ia
menitipkan anaknya. Di balik tirai pula air mataku berurai tiada henti
melantunkan tembang yang ia lantunkan waktu menghitung bintang bersama. Bapak
kenapa tidak datang, ini terakhir kali kita bisa menghitung bintang atau
menengadahkan wajah menikmati indahnya purnama. Bapak kenapa tidak datang, aku
minta restu, bapak aku mau bertanya kenapa menyerahkan nasibku pada mereka.
Inikah nasib yang kau inginkan untukku. Bapak aku hanya mampu menangis sambil
bersenandung di balik tirai, menunggu kau jeput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar