Selasa, Juni 26, 2012

Senandung Di balik Tirai


Pak, kalau aku sudah besar boleh ya Pak aku nyinden, kayak mbak yang itu. Aku suka Pak. Kepingin ditengok orang ramai di beri tepukan tangan. Boleh ya Pak!”
            “Boleh-boleh saja. Asalkan rajin-rajin latihan biar suaramu lebih bagus, merdu, betulkan Ndung?”
* * *
            Malam bertabur bintang, dibaluri sinar purnama. Indah benar, sama ketika aku diajak bapak nonton wayang orang di balai desa. Waktu itu terang bulan. Sepulangnya, aku digendong bapak, diangkat didudukkan di bahunya sambil menengok langit malam. Usiaku enam tahun waktu itu.        
            “Wah, Pak! Kenapa kita diikuti terus sama bintang-bintang.”
            “Ya biar saja bintangnya ngikuti Ndung. Jadinya kan terang.”

            “Iya ya, Pak.” Aku menghitung bintang-bintang, sayup-sayup kudengar bapak nembang beberapa syair lagu jawa. Aku jadi senang. Pelan-pelan kuikuti bapak nembang. Lagi enak-enaknya nembang mulutku menganga lebar, hidungku mengembang.
            “Wah, sudah ngantuk ya Ndung?” Aku mengangguk. Lantas bapak memindahkan aku dari bahunya, kini aku berada tepat di dadanya. Bapak begitu gagah dengan kumis dan rambut panjang yang disisir rapi ke arah belakang dengan hiasan ikat rambut. Perlahan mataku terpejam, bapak masih asyik nembang. Aku semakin pulas dalam dekapannya.
* * *
            Namaku Senandung, entah dari mana asalnya aku diberi nama seperti itu. Pa`de Sulam dan Bu`de Sulasmi yang mengurusku sejak usia tujuh tahun, mereka menyekolahkanku hingga selesai sampai SMA. Menurut cerita orang-orang yang tinggal satu paguyuban dulu aku dititipkan untuk belajar nyinden sekalian. Kalau sudah mahir di berbagai tempat dari desa ke desa, tapi setelah dititipkan aku tidak pernah dijenguk siapapun bahkan oleh orang yang menitipkanku. Tapi bukan aku saja yang bernasib seperti itu, banyak gadis-gadis yang tinggal di sini bernasib sama. Larasati juga seperti aku. Tampat kami bercerita, mengadu, bercanda biasanya sama Mbok Yem, ia sudah berpuluh tahun bekerja dengan Pa`de dan Bu`de. Mbok Yem suka ngemong, sering mengelus kepalaku kalau aku sedang sedih.
            Aku masih ingat sekali perlakuan Pa`de dan Bu`de waktu pertama kali aku datang, mereka baik. Aku diajarkan bagaimana menjadi sinden yang mempunyai suara nyaring, bukan itu saja aku juga diajarkan tari-tarian bahkan terkadang aku ikut ambil peran dalam sebuah pertunjukan wayang. Itu saat aku berusia sepuluh tahun. Semakin hari gerakan dan suaraku semakin bagus banyak penonton yang terkagum-kagum. Tapi lama kelamaan saat usiaku beranjak dewasa Pa`de dan Bu`de tidak seperti dulu lagi. Mereka sangat berbeda sekarang. Baik dan ada yang terselubung di balik itu semua.
            Ya… usiaku sekarang menginjak dua puluh satu tahun, dan Bu`de terlau banyak menuntut.
            “Ndung, cepat sedikit dandannya! Sepuluh menit lagi kita berangkat, jangan sampai terlambat. Inget ya… ini hajatan besar. Kamu tahu toh? Malem ini kita beri pertunjukan dan  suguhan yang paling mantap ini kan acara pesta anaknya lurah desa seberang. Ndung cepet yang laen pada nuggu!!” Bu`de mulai rewel.
            “Iya Bu`de. Sebentar lagi siap.” Jawabku singkat
            “Ati-ati ya Ndok.” Mbok Yem mengelus kepalaku dan aku mengangguk.
            Semalem suntuk panggung menyajikan pertunjukan wayang, tari-tarian sampai tembang-tembang apik. Tapi percuma saja. Ya… meskipun ini pesta perkawinan anak lurah tetap saja yang menonton aki-aki bangkotan. Kemana semua pemuda di kampung ini? Apa sudah tidak doyan? Tapi kenapa tuan rumah menyuguhkan yang demikian ini? Ah! Sudahlah yang pentingkan dibayar. Semua pertunjukan telah selesai disajikan. Semua teman-teman istirahat termasuk aku. Tiba-tiba Bu`de menghampiri.
            “Lho…lho… apa ini, kok malah enak-enakan. Hayo… naek lagi Ndung. Pak lurah kepengen denger satu tembang lagi. Hayo… yang maen musik mana? Wes cepet!” Kami semua menghela nafas. Ya mulai lagi nyindennya. Kuperhatikan raut Pa`de dan Bu`de begitu sumringah, tertawa terbahak-bahak bersama pak lurah. Bu`de mengacungkan jempolnya sambil tertawa genit.
            Ya… akhirnya semua selesai tamu-tamu pulang, pengantin masuk kamar. Teman-teman sudah duduk di pick up bersiap pulang. Tinggal aku yang belum naik, Bu`de memanggil.
            “Ndung! Kenalin ini pak lurah yang punya hajatan. Hayo dong Ndung, disapa, disalamin!” Aku hanya senyum lantas pak lurah menarik tanganku.
            “Ayo, sini-sini. Jangan malu-malu cah manis. Ini sedikit untukmu.” Tangannya menyelipkan lembaran rupiah ke balik bajuku tepat di dadaku. Aku mengelak. “E…. jangan malu-malu, hayo terima.” Ia menarik tanganku meletakkan lembaran rupiah di telapak tanganku.
            “Dasar orang tua edan.” Gerutuku dalam hati.
            “Lho, kok diem saja Ndung. Bilang terima kasih sama pak lurah.” Bu`de memecah suasana. Aku hanya diam dan beranjak pergi.
            “E… lho-lho. Kok minggat.” Celetuk Pa`de. “Maaf ya Pak. Barangkali Senandung kecapean.” Sambung Bu`de.
Aku duduk di sebelah Laras, “Diapain kamu Ndung?” Tanya Laras. Tapi tak kujawab. Kami semua pun kembali ke paguyuban bersama.
Sampai di tempat, aku langsung masuk kamar. Berganti pakaian membersihkan muka, lantas merebahkan seonggok tubuh lelah. Tanpa terasa berurai air mataku. Teringat taburan bintang dan sinar purnama ketika bapak menggendongku.
“Pak, kapan kita nikmati malam berbintang dan baluran purnama sambil nembang bersama?” Kuangkat tubuhku. Kubuka lebar jendela. Kupandangi langit. “Pak aku menyesal.”
“Ndung, kenapa?” Laras mengejutkanku. “Eh… kenapa kamu Ndung. Ada apa, ha? Ayo sini ceritakan padaku.” Laras mencoba menghibur tapi aku menggeleng. “Ya sudah kalau ndak mau cerita. Ayo tidur. Kita kan sudah terlalu lelah jadi mesti jaga kesehatan dengan tidur yang cukup.” Kututup jendela. Kumatikan lampu kamar. Remang-remang cahaya masuk lewat sela-sela jendela. Kucoba memejamkan mata tetapi selalu teringat wajah bapak. Tangan kekar bapak masih terasa di tubuhku. Dulu ia sering menggendongku, bahkan pernah memandikanku. Dan aku tak pernah mengenal siapa ibu. Bapak pun tidak pernah bercerita tentang ibu. Uraian air mata semakin deras. Aku mulai sesunggukan. Nasib apa yang kuterima ini.
            “Pak, dimana sekarang. Kenapa tak pernah melihatku?”
            “Ndung… bangun!” Aku terperanjat, terdengar gedoran dari arah pintu.
            “Ya Bu`de.”
            “Cepat mandi! Ndak perlu beres-beres. Karena sebentar lagi ada tamu yang datang menemuimu.” Bu`de langsung nyerocos.
            “Siapa yang akan datang Bu`de?”
            “Ah, tidak usah banyak tanya. Nanti Bu`de jelaskan.” Jelasnya.
            Aku langsung mandi. Kubasuh seluruh tubuh. Aku jadi teringat lagi ketika masih kecil. Bapak memaksaku mandi padahal aku malas. Bapak marah, diseretnya aku ke sumur diguyurnya tubuhku.
            “Hu… adem pak.” Bapak tersenyum. Terkadang aku kepingin keluar diam-diam agar aku bisa jalan-jalan sambil memandang sekilas, siapa tahu ada sosok lelaki berkumis dan berambut panjang diikat. Ya… bapak. Apa bapak masih seperti dulu. Gagah! Tapi aku tak pernah berani untuk keluar. Pa`de selalu memantau gadis-gadisnya.
            “Mana Senandung. Kenapa lama sekali mandinya. Ini sudah datang tamu istimewa” dengan sigap Bu`de memanggilnya. Suara Pakde begitu keras sepertinya sengaja agar aku mendengarnya.
            “Ndung, cepetan. Sudah datang tamunya. Sudah, jangan lama-lama dandannya.” Bu`de masuk ke kamar memanggil. Lantas aku menuju ke ruang tamu. Aku masih bertanya-tanya siapa gerangan yang datang. Apa mungkin bapak? Aku jadi sumringah. Tubuhku dingin, jantungku berdebar tidak karu-karuan. Bapak, seperti apa wajahmu sekarang. Apa masih berkumis atau rambutmu telah memutih.
            “Sini-sini. Cepat duduk yang manis. Sebentar lagi tamunya masuk. Beliau masih di luar dengan Pa`de.” Bu`de membuyarkan lamunanku. Jantungku dag-dig-dug tidak mampu memandang ke depan.
            “Ayo, silakan Pak. Nah, ini Senandung sudah menunggu.” Pa`de mempersilakan tamu itu masuk dan duduk. Aku belum berani melihatnya.
            “Masih ingat sama saya Ndung?” Suara itu seperti pernah kudengar, ya… suara itu. Kuperjelas dengan mengangkat wajahku. Ternyata lurah yang punya hajatan kemaren. Ada  apa ya? Apa mau mengadakan hajatan lagi?
            “Ndung, masih ingat toh! Ini pak lurah.” Bu`de mempertegas jawabanku. Kedatangan pak lurah ternyata mau melamarku. Sialan. Sudah bau tanah masih kegatelan. Tapi kenapa Pa`de dan Bu`de tidak menolak. Aku tidak diberi kesempatan ngomong. Tiba-tiba Pa`de dan Bu`de meninggalkanku sendiri. “Ndung, kamu mau jadi istri saya?” Dia mulai mendekat, memegangi tanganku.
            “Tidak!” Kujawab ketus sambil menarik tanganku.
            “Kenapa? Daripada nyinden terus sampai tua, paling-paling nantinya kamu juga kawin dengan laki-laki yang seprofesi denganmu. Sama saya kamu bisa senang, dihormati.” Pak lurah semakin menjadi-jadi. Mulai mengelus rambutku. Wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Aku beringsut dari duduk.
            “Tidak, saya tidak mau.”
            “Ya, sekarang kamu boleh mkir-mikir. Saya tunggu jawabannya satu minggu lagi.” Pak lurah lantas pergi.
            Besok paginya, Pa`de dan Bu`de memanggilku. Mereka menekankan bahwa aku tidak boleh menolak. Sebab aku harus membalas budi. Balas budi? Memang, tapi selama ini aku sudah membalas budi mereka dengan nyinden di berbagai tempat dan setelah itu mereka tidak pernah memberiku uang hasil nyindenku. Apa ini? Bahkan sekarang pun aku tidak bisa menolak. Masa depanku mereka yang menentukan? Tidak!
            “Maaf Pa`de, Bu`de. Saya tidak mau! Saya rasa ini sudah jelas. Jadi tolong bilang sama pak lurah, saya tidak mau.” Pa`de dan Bu`de marah, Bu`de menyatakan aku tak tahu diuntung.
            Apa ini? Tak tahu diuntung. Malam tak bertabur bintang, sabit hanya remang meredup. Kucari-cari bintang itu di sela awan malam. Bapak… aku mesti apa? Air mataku berurai.
            “Ndok, yang sabar ya…” Mbok Yem mengelus kepalaku.
            “Kenapa jadi seperti ini Mbok?” aku mencoba bertanya semoga si mbok mau bercerita. Ternyata Mbok Yem mau bercerita dan ia pun ternyata mengerti dengan pertanyaanku. Mbok Yem mulai ceritnaya. Kala itu masih pagi sekali mentari menyapa daun-daun, tetes embun mulai mengering. Ada seorang lelaki gagah, berkumis berambut panjang. Brojo namanya, dulu ia salah satu pekerja disini sebagai pemain musik. Gadis-gadis disini memanggilnya Kang Mas. Dulu ia punya kekasih Sundari namanya. Mereka hampir saja melangsungkan pernikahan. Banyak juga yang iri pada mereka. Meerka begitu mesra seperti tidak mau dipisah.
            Di pagi lainnya, pintu paguyuban terbuka lebar. Waktu itu Brojo akan membersihkan tanaman di depan. Ia mendengar tangisan bayi yang begitu merintih, dicari-cari, di depan pintu, tidak ada. Di semak-semak. Tidak ada. Ia kelilingi halaman itu. Semakin keras saja rintihan itu. Ah! Ternyata di balik pohon jati. Diangkatnya bayi itu. Putih, ayu, pipinya berlesung, dibawanya ke dalam. Warga paguyuban berkumpul mengerumuni Brojo. Semua senang. Ya, yang tidak senang ya sepasang suami istri. Sulam dan Sulasmi. Mereka menolak mengurus bayi itu. Repot katanya. Tapi Brojo tidak keberatan untuk mengurus anak itu. Setiap malam terdengar tembang-tembang apik. Si bayi nampak senang, bayi itu Senandung namanya.
            Air mataku mengalir deras. Aku bukan anak bapak?
            “Mbok, Brojo nama bapakku. Bayi itu aku kan mbok?” Aku berurai air mata memperjelas cerita.
            “Iya Ndok. Itu kamu. Brojo nama bapakmu.” Si Mbok mengelus kepalaku, aku tidur dipangkuannya.
            Mbok Yem mengatakan, bahwa bapak sangat menyayangiku lebih dari apapun. Bahkan Sundari calon istrinya cemburu karena merasa diacuhkan hingga akhirnya Sundari meninggalkan bapak tanpa alasan yang jelas. Pernikahan kandas di tengah jalan. Bapak tidak pernah perduli gadis yang dicintai meninggalkannya. Ia memilih mengurusku. Sampai pada akhirnya bapak mulai tidak disenangi Pa`de dan Bu`de karena melalaikan pekerjaan di paguyuban hingga ia harus dikeluarkan tidak boleh tinggal disini lagi. Bapak bingung harus apa, bagimana nasibku kelak. Bapak memohon agar mereka mau mengurusku, bapak bersimpuh di hadapan Pa`de dan Bu`de. Semula mereka tidak mau tapi karena bapak bersimpuh, meratap akhirnya mereka mau dengan syarat tidak boleh menemuiku dan harus pergi jauh dari sini. Ya. Bapak menitipkan nasibku pada Pa`de dan Bu`de. Hinga aku harus menerima nasib dan membalas budi.
            Setelah semua diceritakan, mau tidak mau aku harus mau dinikahkan dengan lurah bangkotan itu. Lagi-lagi Mbok Yem mengelus berusaha menenangkan. Air laut tidak mungkin kering, asinnya akan dirasa, menikah? Harus aku terima.
            Hari ini tepat seminggu. Lurah itu datang lagi dan aku harus siap. Kulayani semua kemauannya. Ia juga berkata akan membuat paguyuban ini lebih maju. Ya.. baguslah! Terakhir kali aku mengajukan syarat, aku meminta dibuatkan pertunjukan yang hebat dan besar. Semua desa harus dengar tentang pertunjukan ini, semua orang harus dengar, lihat tanpa terkecuali Brojo, bapakku. Lurah itu menyanggupinya.
            Tiba di hari yang sudah ditentukan, orang-orang ramai menyesak di balai desa. Mulailah pertunjukan, di balik tirai kuperhatiakn satu per satu orang-orang yang menonton menikmati pertunjukan. Tapi tidak juga kulihat sosok Brojo, bapakku. Mana mungkin ia tidak tahu disini ada pertunjukan besar, pertunukan suguhan dari tempat ia bekerja. Tempat ia menitipkan anaknya. Di balik tirai pula air mataku berurai tiada henti melantunkan tembang yang ia lantunkan waktu menghitung bintang bersama. Bapak kenapa tidak datang, ini terakhir kali kita bisa menghitung bintang atau menengadahkan wajah menikmati indahnya purnama. Bapak kenapa tidak datang, aku minta restu, bapak aku mau bertanya kenapa menyerahkan nasibku pada mereka. Inikah nasib yang kau inginkan untukku. Bapak aku hanya mampu menangis sambil bersenandung di balik tirai, menunggu kau jeput.

Tidak ada komentar: