Minggu, Januari 17, 2010

KUBURAN “KUBU”


“Kami bukan anjing. Jangan sebut kami orang kubu. Kami benci sebutan itu.” Tengganai berteriak-teriak saat dimasukkan ke dalam sebuah ruangan.
            Dua pria bertubuh tegap mendorong Tengganai lalu mengurungnya di dalam ruangan itu. Ia tersungkur dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Kini ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya ditemani redupnya cahaya lampu di ruangan itu. Di dalam terasa pengap. Ruangan yang berukuran 2 meter × 2 meter itu hanya dipenuhi oleh sebuah kursi yang terletak di tengah dan sebuah tikar di sisi kamar. Betapa pun ia mencari cara utnuk melarikan diri, tidak akan ada hasilnya. Ruangan itu tidak berjendela. Hanya ada sebuah ventilasi yang mengizinkan udara sejuk masuk ke dalam ruangan itu.



Tengganai menggeser kursi ke dekat dinding. Ia mencoba melihat keadaan di luar melalui celah ventilasi yang letaknya tidak begitu tinggi. Celahnya terlalu sempit. Ia tidak begitu leluasa melihat ke luar. Dari celah itu hanya tampak beberapa orang berjaga-jaga. Walau tak bisa melihat dengan jelas ia tahu kalau ia disekap di sebuah pabrik pemotong kayu yang ada di tengah hutan. Ia bisa mendengar suara mesin gergaji yang memotong balok-balok kayu dengan jelas. Suara truk-truk yang menganggkut gelondongan kayu juga bisa di dengar dari dalam ruangan itu.
            Tak ada gunanya lagi berteriak. Jika pun ada yang mendengar, mereka tak akan memperdulikannya. Mereka pun mungkin akan membunuhnya jika ia berusaha melarikan diri. Ia tidak boleh mati. Ia harus terus berjuang. Kalau tidak ia dan sukunya akan terus disingkirkan dari hutan.
            Padahal dulu orang rimba sangat bebas hidup di hutan. Mereka membangun sesudungan* sebagai tempat berlindung atau rumah tinggal di dalam hutan. Orang rimba bebas membangunnya di mana saja, tetapi toh mereka harus tetap menghormati alam. Namun kini hutan semkain sedikit dan membuat lingkungan hidup mereka semakin terbatas. Orang rimba hanya bisa tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas yag mencakup empat kawasan, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun.
            Jika ada yang keluar dari kawasan itu, mereka harus memulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan di desa sekitar hutan. Tapi jika ada yang menetap di hutan di luar kawasan itu, mereka akan dikembalikan lagi ke kawasan itu. Orang rimba tidak boleh tinggal di luar kawasan yang telah ditetapkan untuk mereka. Tengganai tak megnerti kenapa bisa begitu. Yang ia tahu, hutan itu bukanlah milik siapa-siapa. Dari dulu orang rimba hidup “melangun” di seluruh pelosok hutan. Mereka bebas berkelana di dalam hutan. Namun kini kebebasan itu tidak akan dimiliki orang rimba lagi. Sebab hutan bukan hanya milik mereka tapi juga milik orang-orang kota. Tengganai tak tahu sejak kapan orang-orang itu memiliki hutan. Yang ia tahu hutan sebagai anak sulung dari alam semesta adalah milik Tuhan yang harus dimanfaatkan dan dipelihara oleh manusia.
            Perlahan Tengganai turun dari atas kursi. Tubuhnya terasa lelah, lebih baik menyimpan tenaga yang masih tersisa. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas tikar. Untuk sementara biarlah di sini dulu.
*          *          *
            Waktu berjalan meninggalkan petang. Tengganai terbangun dari tidurnya. Pintu ruangan dibuka oleh seorang pria. Ia membawakan makanan.
            “Ini makananmu. Ingat baik-baik! Jangan coba-coba melarikan diri. Diam saja disini! Kalau tidak tanggung sendiri akibatnya!” Tengganai menatap pria itu dalam diam. Ia tidak sanggup lagi melawan. Ia harus mengumpulkan tenaga untuk terus memperjuangkan keberadan orang-orang rimba.
            Ditatapnya makanan itu. Sepiring nasi putih dan telur mata sapi. Perih hatinya. Seperti anjing saja, ia diperlakukan seperti itu. Ingin rasanya ia berontak tapi ia sudah tak kuasa. Tak ada yang mengerti perasaan orang rimba. Orang-orang di desa dan di kota menganggap mereka seperti binatang, tak berada karena tinggal di hutan. Mereka menyebut orang rimba sebagai orang kubu. Padahal kubu itu bermakna terbelakang. Orang rimba tak suka dengan sebutan itu. Apakah hanya karena mereka tinggal di hutan lantas mereka disebut terbelakang? Apakah karena itu orang-orang desa dan kota merasa diri mereka lebih beradap daripada orang rimba?
            Sama sekali tidak! Orang-orang rimba juga manusia seperti orang-orang desa dan kota. Hanya cara hidupnya yang berbeda. Orang rimba hidup bergantung pada alam. Mereka beranak pinak di dalam hutan, makan sirih, berburu dan meramu obat alam. Tapi bukan berarti mereka tidak memiliki peradaban. Memang sehari-harinya mereka tak memakai baju kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dindingnya dari kayu. Makan buah-buahan dan berburu kijang, ayam hutan dan rusa. Cara hidup seperti itu memang tidak modern. Tapi apakah salah jika orang rimba memilih cara hidup seperti itu?
            Hatinya terus mendera sakit. Dia ingin marah tapi kepada siapa. Kepada orang-orang desa atau kota yag menganggap diri mereka lebih maju dari pada orang rimba? Huffhhh! Tengganai membuang nafas perlahan-lahan. Air matanya mengerling karena ia terus membendung perih dalam hatinya.
            Ia masih ingat dulu ketika masih kecil ia dibawa ayahnya pergi ke kota. Ayahnya hendak menukarkan rusa dan ayam yang didapatkan dari hutan dengan tembakau. Saat tiba di pasar, banyak orang yang mencemooh mereka. Bahkan ada orang tua yang memegang anaknya erat-erat karena mereka takut anak-anaknya kena guna-guna. Tengganai merasa sakit hati sewaktu ia mendekati seorang anak kecil. Anak kecil itu berlari kepada orang tuanya dan mengatakan kalau ia takut diculik oleh orang kubu seperti dirinya. Padahal Tengganai hanya ingin bermain-main dengan anak itu.
            Di pasar itu juga ia melihat ayahnya ditipu oleh pembeli. Ayam hutan dan rusa itu hanya dihargai dua kantung plastik tembakau. Bahkan ayahnya harus memberikan beberapa rupiah untuk membeli tembakau itu. Siapapun tahu, kalau itu tak pantas. Tengganai marah, tapi ayahnya menahannya. Ia mengingatkan anaknya tentang seloka adat yang pernah diajarknannya. Tidak lapuk kareno hujan, tidak lekang kareno paneh. Biarlah mereka menipu, tapi kita harus bersabar.
            Ayahnya banyak mengajarkan seloka adat dan hukum rimba yang harus dipatuhi oleh semua orang rimba. Kata ayahnya, orang rimba memiliki hukum sendiri. Hukum orang rimba tidak jauh berbeda dengan hukum Minang yang disebut Pucuk Undang Nang Delapan. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian dan pemerkosaan. Itulah larangan yag paling berat. Jika orang rimba melanggarnya maka akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya orang rimba berusaha untuk mematuhi.
            Namun Tengganai heran melihat orang-orang desa dan kota. Mereka memiliki hukum yang berbeda dengan orang rimba. Malah lebih lengkap daripada seloka adat. Tapi kenapa banyak dari mereka yang berani melanggar hukum yang dibuatnya sendiri? Mereka yang menganggap dirinya lebih beradab, suka merusak peradaban itu. Bagaimana bisa beradab jika hukumnya sendiri dilanggar?
            Dulu pernah ada teman Tengganai yang memutuskan untuk meninggalkan hutan dan memilih hidup bermasyarakat di desa. Ia memilih hidup sebagai petani. Namun setelah beberapa tahun ia tinggal di desa, sesuatu masalah menimpa dirinya. Ia ditangkap polisi dan dipenjara. Tengganai berusaha mencari tahu apa masalahnya. Ternyata ia dipenjara karena ia dituduh merusak properti milik sebuah pabrik yang baru dibangun sebuah perusahaan di desa itu. Pabrik itu terletak di dekat ladangnya dan mereka mencaplok sebagian dari ladang milik temannya sebuah papan nama perusahaan itu didirikan di ladangnya. Ia marah lalu mencabut  papan nama itu dan membakarnya. Ia pun langsung ditangkap oleh polisi karena perbuatannya itu.
            Tengganai heran. Padahal pengusaha pabrik itulah yang telah merampas ladang temannya itu. Tetapi kenapa ia tidak ditangkap. Malah temannya yang mengambil haknya kembali yang ditangkap dan dipenjara oleh polisi. Ia bingung karena pengusaha itu tidak dihukum. Dimanakah hukum itu sebenarnya? Kenapa orang yang bersalah itu tidak ditangkap? lagi-lagi Tengganai menahan sakit hati karena ternyata orang-orang yang mengaku beradab bisa berbuat biadab.
            Rasa sakit hatinya pun larut bersama malam. Gelap sudah menyelimuti hari. Suara-suara mesin gergaji sudah berhenti. Tak ada lagi truk yang mengangkut gelondongan kayu, sebagian pekerja sudah pulang. Sedangkan yang lainnya menginap di penginapan sekitar pabrik pemotongan kayu. Tengganai masih sendirian mengingat-ingat kejadian yang selama ini menimpanya.
*          *          *
            Tengganai terkejut saat sekumpulan orang bersenjata menyergap rumahnya. Ia hanya sendiri di rumahnya. Istri dan anak-anaknya sudah mengungsi ke Bukit Duabelas lebih dahulu. Begitu juga dengan tetangganya. Mereka sudah mengetahui bahwa sekelompok orang bersenjata akan datang ke lahan hutan yang baru mereka garap. Orang rimba sudah tahu kalau mereka hanya boleh mendiami hutan di Bukit Duabelas. Jika mereka menggarap hutan di luar kawasan itu, mereka akan disiksa oleh orang-orang  bersenjata lalu dikembalikan lagi ke kawasan Bukit Duabelas.
            Ia dan keluarganya serta beberapa tetangganya memilih pindah dari bukit itu karena ingin membuka ladang baru. Kebiasaan hidup seminomaden orang rimba itulah yang dianggap merusak hutan. Dengan membuka hutan, maka akan banyak pohon yang akan ditebang. Padahal orang rimba hanya membuka lahan beberapa hektar saja. Sedangkan orang kota yang sering disebut cukong bisa menebas hutan beribu-ribu hektar. Malah mereka dibiarkan bebas begitu saja.
            Orang-orang kota berbuat tidak adil terhadap orang rimba. Mereka menangkapnya. Ia berontak. Tapi berkali-kali pukulan mendarat ditubuhnya. Tengganai tak bisa lagi melawan. Dua orang pria mengikat tangannya. Ia akan dibawa ke salah satu pabrik pemotongan kayu. Di sana ada tempat untuk menyekap orang rimba yang keluar dari kawasan Bukit Duabelas.
            “Dasar orang kubu! Dibilang berkali-kali supaya jangan pindah dari kawasan Bukit Duabelas, tetap saja membangkang. Tempat kalian sudah disediakan disana. Jangan pindah-pindah lagi!” seorang pria bersenjata memarahinya.
“Tapi hutan itu adalah tempat kami. Tempat kalian itu di desa dan di kota. Kalian orang terang* malah merusak tempat kami. Kami saja tak pernah merusak tempat kalian!” Tengganai membela kaumnya.
“Sudah! Diam! Ayo terus jalan!” Pria yang lain membentaknya.
Mereka berjalan menyusuri jalan tikus menuju pabrik. Jaraknya sekitar tujuh kilometer. Di tengah perjalanan mereka berhenti untuk beristirahat. Tengganai meminta izin untuk buang air.
“Baiklah! Kau, Willy! Jaga dia! Jangan sampai dia kabur!” Seseorang tampaknya seperti pemimpin dalam kelompok itu memerintahkan anggotanya untuk menjaga Tengganai buang air. Seorang anggota yang bernama Willy itu membawanya ke lembah bukit. Di situ ada sebuah telaga kecil. Di sekelilingnya terdapat rimbunan ilalang setinggi orang dewasa.
Willy melepaskan ikatan Tengganai. Ia berdiri tak jauh dari Tengganai sambil memegang senjata.
“Sudah, disitu saja. Jangan coba-coba kabur!” Willy memperingatkannya. Namun ia melihat ada kesempatan untuk lari. Saat Willy lengah, disitulah diam-diam Tengganai melarikan diri. Tak lama akhirnya Willy sadar kalau Tengganai sudah kabur.
“Kurang ajar! Awas nanti kalau ketemu!” Willy akhirnya kembali ke kelompoknya. Tengganai hilang dalam rimbunan ilalang. Sebagai orang rimba ia sudah mengetahui seluk beluk hutan. Ia dapat mengecoh Willy yang menjaganya. Pimpinan kelompok itu pun memarahi anak buahnya. Mereka lalu mencari Tengganai lagi.
Tengganai mengendap-endap dalam rimbunan ilalang. Setelah posisinya agak jauh, ia berlari dalam rindangnya pohon-pohon di hutan. Ia bersembunyi di bawah pohon rindang di balik bukit. Nafasnya terengah-engah. Ia melihat sekelilingnya untuk memastikan keadaan. Ia sudah tak sanggup berlari. Ia memutuskan untuk bersembunyi disitu dulu.
Sementara itu matahari sudah tergelincir ke arah barat. Kelompok orang bersenjata itu mengerahkan bantuan untuk mencari Tengganai. Mereka menyusuri seluruh hutan. Menyisir setiap bukit dan lembah. Hari sudah semakin sore dan mereka harus bisa menangkap Tengganai kembali. 
Derap langkah orang berjalan semakin dekat. Tengganai tak berkutik. Ia terpaku dalam persembunyiannya. Seseorang akhirnya menemukan jejak Tengganai. Ia mencurigai sebuah pohon besar yang tak jauh di depannya. Disitulah Tengganai bersembunyi. Mereka akhirnya mengepungnya. Tengganai tak bisa lari lagi.
Ia mengangkat kedua tangannya. Namun bukan berarti siksaan tak berkurang. Tengkuknya dipukul dengan senjata. Ia mengerang kesakitan. Mereka tak memberikan ampun. Tangan Tengganai diikat lagi. Akhirnya ia dibawa ke pabrik pemotongan kayu.
Sepanjang perjalanan ia terus saja merenungkan hal-hal yang menimpa dirinya. Ia hanya ingin pindah dari Bukit Duabelas. Ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Bukankah orang-orang di desa atau di kota juga pernah pindah ke desa atau kota yang lain? Bahkan bisa ke seberang pulau. Tapi mengapa orang rimba tidak boleh pindah ke kawasan hutan yang lain. Tengganai merasa orang rimba seperti dikurung dalam Bukit Duabelas. Ia merasa seperti binatang yang dilindungi dalam sebuah cagar alam. Semua orang benar-benar memperlakukan mereka seperti binatang.
Dari dulu memang orang rimba dan orang terang selalu saja bermusuhan. Ia pernah diceritakan ayahnya kalau dahulu sudah ada pernah terjadi perselisihan antara orang rimba dan orang terang. Pada saat itu nenek moyang orang rimba menderita kelaparan di hutan. Ia lalu mengambil padi di sawah milik penduduk desa. Terjadilah pertengkaran yang berujung pertempuran terbuka. Nenek moyang orang rimba lari ke bukit dan menggulingkan balok-balok kayu, hingga menewaskan penduduk desa. Beberapa penduduk desa yang selamat, membalaskan dendam desa. Beberapa penduduk desa yang selamat, membalaskan dendamnya pada suatu kesempatan. Mereka berhasil membunuh orang rimba itu. Sejak saat itu terbentanglah jarak antara orang rimba dan orang desa.
Hingga saat ini permusuhan itu sebenarnya masih terjadi. Orang desa ataupun orang kota merasa hutan itu adalah miliknya. Hingga akhirnya orang rimba disingkirkan. Hutan semakin banyak ditebang. Orang rimba hanya diberikan tempat yang disebut Taman Nasional Bukit Duabelas untuk tempat mereka menjalani kehidupan mereka sehari-hari.
Tengganai tak suka diperlakukan tidak adil. Ia mengajak istri dan anak-anaknya serta tetangganya untuuk meningalkan Bukit Duabelas. Mencari kehidupan baru yang lebih baik. Namun ternyata usahanya tidak berhasil. Ia malah ditangkap dan akan dikembalikan ke Bukit itu.
*          *          *
Malam larut. Udara malam mendinginkan hatinya yang perih. Suara hewan malam memenuhi ruang kepalanya. Dihutanlah kehidupanku, pikirnya. Namun hutan semakin sedikit. Jikalau semua orang rimba dikumpulkan di Bukit Duabelas, pada akhirnya nanti hutan di kawasan itu akan habis juga. Semakin banyak jumlah orang rimba yang akan membuka lahan di kawasan itu. Tak akan ada lagi pohon-pohon rindang yang tumbuh di kawasan itu.
Sebagai orang rimba mereka harus menjaga dan melestarikan hutan. Mereka tidak meninggalkan lahan mereka yang lama begitu saja. Mereka akan menanami bibit-bibit pohon jika lahan itu tak bisa lagi digunakan. Pada akhirnya lahan itu akan rimbun kembali dipenuhi pepohonan.
Tidak seperti cukong kayu. Mereka menebang hutan beribu-ribu hektar. Tapi tak mau menanaminya lagi karena lahan hutan yang gundul membutuhkan begitu banyak bibit pohon dan biaya yang besar. Dasar orang terang! Tengganai mengumpat dalam hati. Hanya mau mengambil untung saja. Tak mau bertanggung jawab atas kerusakan yang dibuatnya.
Mereka tak mau peduli akan banyaknya kehidupan didalam hutan. Dengan rusaknya hutan, akan memusnahkan beragam jenis kehidupan. Entah berapa banyak lagi kehidupan yang akan dimusnahkan oleh mereka.
Tengganai tak tahu sampai kapan keserakahan orang terang itu akan hilang. Ia tak mengerti kenapa seperti itu. Apakah kehidupan di desa atau di kota tidak bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi mereka. Padahal cara hidup mereka lebih maju dari pada orang rimba.
Ia bersyukur karena cara hidup orang rimba ternyata membuat mereka lebih menghargai alam. Cara hidup yang begitu sederhana membuat orang rimba tidak serakah. Mereka hidp dengan pemberian alam yang sudah tersedia di hutan. Dengan hidup seperti itu mereka sudah merasa bahagia.
Sementara itu udara semakin dingin. Gemuruh langit melenyapkan suara-suara malam. Tengganai diam kali ini. Namun tak seperti biasanya. Ia sangat mengenal alam di hutan. Kali ini ia tak mendengar sediktipun suara-suara binatang malam saat gemuruh terhenti. Tak lama hujan lebat turun. Membasahi seluruh kawasan hutan.
Tengganai mengerti. Taka ada gunanya berteriak. Ia pasrah. Ia bisa merasakan getaran tanah. Ia pun dapat mendengar gemuruh yang bukan berasal dari langit. Ia bisa merasakan amarah alam yang sudah memuncak.
*          *          *
Di dalam sesudungan di Bukit Duabelas, istri Tengganai menangis terisak-isak. Ia mendapatkan kabar bahwa suaminya disekap di pabrik pemotongan kayu. Semuanya sudah hancur diterjang banjir. Tak ada gunaya mencari suaminya yang sudah mati.
Keesokan harinya, istri Tengganai mengajak anak-anaknya melangun. Seperti kebiasaan orang-orang rimba pada umumnya.

Oleh Indra Dinata

Tidak ada komentar: