Mengingat ayah seperti melihat
pelangi: Merah, kuning, hijau, biru dan lembayung. Itu warna yang diciptakan
ibu, Za, dan Syi, agar aku bisa mengenal Ayah.
“Menikahlah Li.
“Li mau menikah. Tapi dengan
lelaki yang mirip Ayah.”
“Li harus percaya dia jauh
lebih baik dari Ayah.”
“Siapa bilang!”
“Li harus percaya Ayah”
* * *
Aku adalah kelopak yang
berjatuhan saat angin mengetuk, Rapuh. Tapi Ayah selalu bisa kembali menjadikan
aku kuntum. Harum dan kokoh. Tak ada lelaki sehebat Ayah. Ia selalu berlari,
memeluk lukaku, lalu mengusap air mataku.
“Li sudah jatuh, berarti
sebentar lagi, Li sudah bisa naik sepeda,” Isakku menguap. Kuambil sepeda yang
lebih tinggi dari tubuhku. Kulihat Ayah, aku yakin. Rodanya berputar 2 kali, 5
kali, 10 kali. Ayah lihat, kakiku tidak menyentuh tanah. Aku pandai, Ayah, Ayah,
aku bisa. Ayah.... aku jatuh lagi lalu Ayah mengobati lukaku, memelukku.
“Li sudah hampir bisa. Nanti
kalau udah bisa, Li bonceng Ibu ya.”
Aku bangun lagi, kukayuh pedalnya pelan....pelan....pelan. Perih di lututku
memelas minta perhatian.
“Ayo, Li jangan takut, Ayah
pegang dari belakang,”
“Bisa, Bisa. Aku sudah bisa
Yah,” Tapi sampai aku besar, Ayah tak pernah melepaskan pegangannya.
“Ayah takut Ibu dan Li jatuh.”
Tidak ada lelaki sehebat Ayah.
Ia selalu datang ke kamarku, saat rimbun bambu jepang di halaman samping
berdesir dan malam menghadiahiku suara-suara aneh. Belum lagi angin yang
merambat mulai dari tepi jendela, dinding, lantai, kemana saja. Tempat yang
dianggapnya membutuhkan kedamaian.
“Bu!” Aku memanggil Ibu,
terdenggar suara langkah.
“Sstt...., Ayah disini,”
“Li takut Yah.”
“Itu cuma suara daun dan
jangkrik.”
“Li tidur lagi ya, Ibu juga
sedang tidur. Kasihan, ibu capek.” Aku mengangguk di lengan Ayah, aku selalu
bisa membaringkan mimpi-mimpiku. Hangat. Ketika aku bangun, mimpi mengomel pelan.
Ia benci pada siang, sama seperti aku yang begitu membenci perpisahan.
“Lihat,” waktu itu senja
turun, aku dan ayah duduk berdampingan di atas bukit kecil belakang rumah.
“Li tau itu apa?” Ayah
menunjuk lingkaran kusam yang terlukis di langit. Sementara jauh di sisi lain,
pipi langit menawarkan semburat oranye, warna yang selalu hidup.
“Itu namanya bintang sore,”
lanjut Ayah sembari menarikku ke pangkuannya.
“Tapi Yah, Ayah bilang bintang
keluarnya malam-malam,”
Ayah tersenyum menatapku.
“Cuma sebutannya, sebenarnya
itu bukan bintang. Tapi planet venus.” Jawab Ayah mengobati rasa penasaranku.
Aku makin tidak mengerti, aku lebih suka bintang yang keluar malam hari, dan
Ayah selalu bisa mengenali bintang-bintang itu. Ursa mayor, cerus, orion, satu
hal yang sampai saat ini masih belum bisa kulakukan. Tapi, aku sudah mengerti
tentang bintang sore, planet Venus. Planet yang paling dekat dengan bumi sering
terlihat sore atau pagi hari, bila atsmosfer sedang berbaik hati. Orang-orang
lebih sering menyebutnya bintang kejora.
“Itu planet Venus.” Kataku
pada Ibu dan Za, dan Za langsung bangun dari duduknya, berdiri di hadapanku.
Aku tak suka dengan tatapannya.
Malamnya ibu menemaniku tidur,
tanpa dongeng. malam-malam bersama Ibu adalah belajar menghafal doa pengantar
tidur. Tapi malam ini Ibu tidak mengajakku berdoa.
“Li, Ibu mau tanya. Li tau
dari mana planet Venus?”
“Ayah.” Jawabku cepat. Ibu
membelakangiku, kulihat lagi, Ibu mengucek-ucek matanya. Kata Ibu, bantal di
tempat tidurku banyak debu. Kubaca doa sendiri, tiga kali. Untuk ibu juga,
mungkin tadi ibu lupa.
Awan alto cumulus hadir pagi
ini. Putih, kecil dan bergumpal, awan mimpi.
Aku berjalan mengikuti Ayah. Gerombolan embun duduk manja di pucuk –
pucuk daun, berbinar. Sok anggun. Padahal tersenggol belalang sedikit saja,
satu, dua, bahkan semua dari mereka akan meluncur bebas di sela-sela rumput.
“Jangan dipetik Li!” Kata Ayah
menoleh ke belakang. Ketika langkahku terhenti dan tanganku bersiap–siap
menyambar daun keladi.
“Nanti gatal.” Lanjutnya
sambil berjalan.
Setengah berlari, kukejar
Ayah. Aku senang ke ladang. Duduk di pematang, meniup terompet yang dibuat Ayah
dari daun kelapa, kadang juga dari batang padi. Panggil angin, kata Ayah. Aku
akan meniup terompetku kuat-kuat, sampai pipiku seperti akan meletus. Angin
datang, berjingkat. Aku senang, aku berhasil mengundangnya. Pemahaman yang
indah. Sekarang aku baru tahu, angin bukan datang karena suara terompetku. Tapi
angin selalu bergerak ke tempat yang tekanan udaranya lebih rendah. Sementara itu,
tangan Ayah, sekali–sekali menggoyang tali yang sudah dipasang kaleng susu
bekas. Brurrr....., burung pipit menjauh. Cuma sebentar, sambil menunggu Ayah
lengah, mereka main alip berondok di pohon
mangga tok Gelang, pemilik ladang sebelah
Sekolah. Ibu memakaikan aku
baju putih dan rok merah. Kata Ibu–ibu lain di sekolah, aku hebat. Ibu tidak
pernah menungguiku.
“Ibu harus ke ladang, Li
berani kan sendiri?” Bujuk Ibu sambil memakaikan dasiku. Aku sudah tau Bu, Aku
tak pernah takut, selagi Ayah disampingku. Aku suka sekolah. Kata Pak guru, aku
pintar seperti Ayah.
“Yah, teman–teman Li jahat,
orang itu bilang Li anak yatim.”
Wajah Ayah berubah, aku tidak pernah melihat
Ayah begitu. Mirip wajah Ibu, kalau aku berbicara tentang Ayah.
“Nggak, temen–teman Li nggak
jahat. Li nggak usah marah, yang penting Li rajin sekolah, jadi juara.” Jawab
Ayah membujukku, waktu itu aku mogok menulis angka satu sampai sepuluh. Aku
tidak tahu apa itu anak yatim. Za bilang, anak yang tidak punya Ayah. Tapi, aku
punya Ayah. Ini rahasia kami berdua, Ibu, Za, dan Syi pun tidak tahu. Aku juara
satu, Ayah membuatkanku mobil-mobilan dari batang pisang.
Hari ini semua sibuk. Bang Syi
duduk, di atas bantal besar yang cantik.
Pakai baju teluk belanga. Bang Syi menangis, waktu Ibu siran pakai beras
dan bertih. Ibu juga menangis. Ibu memang sering menangis, tapi Ibu bukan
cengeng. Kata Ayah: Ibu harus menangis, biar Ibu bisa tersenyum di depan kami.
Kalau bang Syi, hebat. Aku
ingat dia menangis cuma tiga kali. Waktu minta mobil mainan yang besar, Ibu
sakit, dan sekarang. Bang Syi tidak boleh cenggeng.dia ingin menjaga aku, Ibu,
dan Za.
* * *
Usia tanpa berencana, membuat
aku dan Ayah jarang bercerita. Aku jadi bunga, pura-pura kokoh. Aku harus
sekuat Ibu. Tanggis bagiku ruang-ruang yang selalu dipenuhi kekalahan.
Ayahku adalah lelaki hebat.
Tempat kesah tertumpah tanpa sisa. Lalu asa menyisip pada lempengan doa, yang
ia bacakan untukku, Ibu, Za, dan Syi. Ia masih datang, tapi tak bisa lama. Ia
selalu hadir, setiap aku tak mampu berkata, aku kuat. Dan ia akan memelukku
”Li, anak Ayah yang kuat.”
Ia adalah telaga. Disana rindu
dan cinta bermuara. Lewat figura-figura tua ia bercerita, pada Ibu, Za, dan
Syi. Tentang setiap petang yang selalu mereka kayuh dengan tawa, mengelilingi
jalan-jalan kampung, Syi selalu merasa bangga duduk di atas tangki kereta. Ia
merasa, ia adalah garuda. Ada juga fajar merekah, mereka tertidur di pangkuan
Ayah, dan Ayah akan terus menyiram doa.
Aku memang tak punya semua
cerita tentang itu. Karna Ayah adalah lelaki yang menyelinap ke rahim Ibu.
Mengajakku berbicara dengan bahasa yang tak kumengerti, dan karena
keterbatasanku. Aku tak mampu mengenalinya. Tapi, aku lebih beruntung dari Ibu,
Za, dan Syi. Karan aku punya cerita tentang pelagi, planet venus, bintang, gerimis.
Aku punya lebih banyak lagi
Melihat Ayah seperti memahami
pelangi. Merah, kuning, hujau, biru dan lembayung. Itu warna yang diciptakan
ibu, Za, dan Syi, agar aku bisa mengenal Ayah. Mereka tidak pernah tahu, warna
pelangi ada yang tak mampu mereka lihat. Inframerah dan ultraviolet. Itulah
warna Ayah ”bagiku”.
”Aku akan menikah, Yah.biar
aku bisa memandangmu, bersamanya.”